Senin, 15 Juli 2013

Tentang Zakat, Infaq dan Shodaqoh

Zakat adalah merupakan Rukun Iman yang ketiga. Arti menurut bahasa  adalah “berkembang” atau “pensucian”. Sementara menurut syar’i, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah).

Memaknai kata “hak yang telah ditentukan besarnya”, berarti zakat tidak mencakup hak-hak berupa pemberian harta yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan kata lain Zakat adalah “yang wajib (dikeluarkan)”, berarti tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti sodaqoh tathawwu’ (sedekah sunnah). Sementara ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syar’i yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.

Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan sodaqoh? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infaq dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain - lain  sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.

Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal)

Adapun istilah sodaqoh, maknanya berkisar pada tiga pengertian berikut ini:

Pertama, sodaqoh adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima sodaqoh, tanpa disertai imbalan. Sodaqoh ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah sodaqoh tathawwu’ atau ash sodaqoh an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash sodaqoh al mafrudhah. Namun seperti uraian Az Zuhaili, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima sodaqoh akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syar’i:

“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.

Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan sodaqoh, maka sodaqoh menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syar’i :

“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”

Dalam kebiasaan para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah sodaqoh secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah sodaqoh dalam arti yang pertama ini yang hukumnya sunnah bukan zakat.

Kedua, sodaqoh adalah identik dengan zakat. Ini merupakan makna kedua dari sodaqoh, sebab dalam nash-nash syar’i terdapat lafazh “sodaqoh” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil - amil zakat …” (QS At Taubah : 60)

Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman:

“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “sodaqoh”.

Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, sodaqoh merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata sodaqoh dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan sodaqoh sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata sodaqoh –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan sodaqoh tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan sodaqoh yang lain-lain.

Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “sodaqoh” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “sodaqoh” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.

Dengan demikian, kata “sodaqoh” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.

Ketiga, sodaqoh adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syar’i). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin sodaqoh” (Setiap kebajikan, adalah sodaqoh).

Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah sodaqoh, memberi nafkah kepada keluarga adalah sodaqoh, beramar ma’ruf nahi munkar adalah sodaqoh, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah sodaqoh, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga sodaqoh.

Agaknya arti sodaqoh yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan sodaqoh dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, sodaqoh adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.

Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bersodaqoh (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti sodaqoh yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin sodaqoh”) beliau mengisyaratkan bahwa sodaqoh di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai sodaqoh, karena disamakan dengan sodaqoh (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut sodaqoh, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya sodaqoh. Amar ma’ruf nahi munkar disebut sodaqoh, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya sodaqoh. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).

Walhasil, sebagaimana halnya makna sodaqoh yang kedua, makna sodaqoh yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “sodaqoh”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan : “Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”

“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)

Namun demikian, bisa saja lafazh “sodaqoh” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “sodaqoh” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti sodaqoh sunnah. Misalnya firman Allah:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)

Kata “sodaqoh” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “sodaqoh” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta sodaqoh, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfaqkan hartanya. Jadi penginfaqan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar